Spirit Adam, Motivasi Hidupku Meraih Akherat
Saya memiliki seorang teman yang bernama Adam. Dia merupakan salah satu teman paling dekat.
Suatu hari ketika kami duduk bersama setelah shalat dzuhur di masjid bagian tiang belakang. Tidak seperti biasanya, saat itu saya melihat dia seperti sedang sedih dan merenung.
Saya memberanikan untuk menghampirinya dan menanyakan kenapa dia seperti itu. Dia pun menjawab dengan nada yang sedih, katanya teringat dengan dengan almarhum sang ayah, sambil menatapku dengan mata yang berkaca kaca.
Sejenak, ia menceritakan pengalamannya kepadaku. 3 tahun yang lalu, tepatnya pada saat usianya menginjak 15 tahun, dia harus menerima kenyataan bahwa sang ayah telah dipanggil oleh Allah swt.
Kehilangan sesosok ayah yang begitu perhatian dan tegas, baginya merupakan suatu hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Hal itulah yang membuatnya terpukul dan sedih karena, hingga hari ini.
Selain karena kehilangan sosok yang perhatian dan tegas padanya, Adam juga merasakan penyesalan yang amat besar karena semasa ayahnya masih hidup. Adam mengaku, kala itu, ia termasuk anak yang nakal di sekolah dan susah dinasihati.
Namun sang ayah, dikenal berperangai sabar dan selalu menyayanginya. Bahkan tidak pernah lelah untuk menasihatinya.
Sepeninggal sang ayah, Adam berubah 180 derajat. Ia mengaku sempat mengalami stres dan syok berat akibat meninggalnya ayahnya tersebut. Bahkan Adam bilang kondisinya, sampai pernah tidak mau makan selama 3 hari berturut-turut, berdiam diri dikamar, dan tidak mau berkomunikasi dengan siapapun.
Syukurnya Ia masih memliki seorang ibu yang sabar seperti ayahnya. Sang ibu adalah sosok yang selalu memberikan perhatian dan pengertian kepadanya.
Bahkan ibunya tidak pernah lelah untuk selalu mendukung dan menyemangatinya. Sosok pengganti ayahnya itu tak lupa menghibur kesedihan Adam dan berusaha membuatnya ikhlas menerima kenyataan yang telah menjadi takdir Allah swt.
“Doakan saja yang terbaik untuk ayahmu, ya Adam. Semoga ayah bisa tenang di akhirat, berdoalah agar kita semua ibu, kamu, kakak, serta adikmu bisa bertemu dan berkumpul lagi bersama ayah di Surga-Nya,” demikian salah satu pesan ibunya yang sangat mendalam.
Pesan sang ibu membuat Adam sadar dan berhenti melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran, sebagaimana yang dia lakukan sebelumnya. Lambat laun, Adam mulai mengerti, bahkan dia telah pulih dari depresi dan yang dialaminya.
Pihak keluarganyapun begitu bersyukur karena Ia tidak sampai benar-benar menutup diri ke semua orang dan mulai menjalani hidupnya seperti sedia kala. Satu pesan ibunya, agar berharap bisa berkumpul bersama di Surga, membuatanya termovitasi dalam hidup.
Dengan niat yang kuat, Adam akhirnya mutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren. Sebelumnya, ia sekolah formal di SMP negeri di kota kecil.
Keputusannya ini didukung sang ibu dan membuatnya semakin yakin untuk masuk ke pondok pesantren.
Dunia Baru yang menjanjikan
Hidup di dunia baru, di pondok pesantren, membuat Adam sedikit terkejut. Tidak pernah terbayangkan olehnya menjadi santri, yang ternyata dinilai tidak mudah.
Sebelumnya dia mengira menjadi santri itu hanya sekolah dan belajar pendidikan Islam saja. Rupanya jauh di atas itu, ada banyak sekali kegiatan rutin yang harus diikutinya.
Pada awalnya hal tersebut sangat sulit baginya. Bayangkan saja, seorang anak yang disekolahnya dulu merupakan anak yang nakal, susah bangun pagi sehingga sering terlambat masuk sekolah, sering tidak mengerjakan tugas, sekarang harus bangun pukul 02.30 pagi untuk melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) hingga pukul 04.00. Belum lagi dilanjut dengan shalat Subuh di jam 04.50 dan disambung lagi dengan tadarus Al-Qur’an hingga pukul 06.00 pagi.
Tidak berhenti sampai di situ, para santri harus segera bersiap-siap untuk sekolah hingga pukul 11.00, setelah itu persiapan shalat Dzuhur dan istirahat makan siang. Lalu pada jam 15.30 shalat Ashar, dan setelahnya melakukan olahraga bersama, setelah itu mandi dan persiapan shalat Maghrib, dilanjut dengan tadarus Al-Qur’an lagi hingga masuk shalat Isya’. Semua kegiatan baru berakhir di pukul 22.00 malam.
Begitulah kehidupan baru di pobdok pesantren yang harus dilakukan oleh para santri termasuk Adam. Tidak terasa sudah 3 tahun Adam melakukannya. Jika Adam merasa lelah menghafal Al-Qur’an, atau lelah belajar, dia selalu mengingat alasan kenapa dia ingin menjadi santri, maka dia harus siap menerima segala macam kegiatan dan segala macam peraturan yang ada di pesantren.
Dan benar saja, sekarang Adam sudah terbiasa dengan kehidupan pesantren yang dia jalani. Dia bahkan mengaku sangat bahagia menikmati masa-masa dia menjadi santri, banyak hal yang telah Adam dapatkan dan pelajari selama ini, salah satunya belajar menjadi seorang penghafal Al-Qur’an, yang tentu saja hal itu diharapkan dapat memberikan peluang besar untuknya agar bisa membawa keluarganya untuk berkumpul bersama di Surga-Nya kelak.
Saya mendengar semua kisahnya dengan sangat merinding dan tersentuh. Saya terinspirasi oleh keikhlasan hatinya saat melepas kepergian sang Ayah, kegigihanya yang kuat untuk menjadi santri dan pantang menyerah dalam menghafal Al-Qur’an, dan mempelajari Islam.
Semangatnya ini pula yang mendorong saya untuk menempuh pendidikan di pondok pesantren. Dari Adam saya belajar bahwa bukan hanya saya saja yang kerap kali merasa lelah, tapi setiap orang juga pernah merasakannya lelahnya mencari ilmu.
Tapi bagaimanapun, pilihanya hanya dua. Memilih untuk menyerah atau tetap bertahan dan terus berusaha untuk meraih apa yang selama ini menjadi tujuan kita.
Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,
Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
Dan barangsiapa ketinggalan belajar di masa mudanya,
Maka bertakbirlah untuknya empat kali karena kematiannya,” demikian nasehat Imam As Syafi’Ii yang membuat saya terus bersamangat.
Komentar Terbaru