Rasulullah dan Upaya Pembebasan Baitul Maqdis
Suatu ketika di tahun 629 M atau tahun ke-8 Hijriah, Rasulullah ﷺ hendak mengirimkan surat kepada Raja Bushra, sebuah kota yang terletak di selatan Suriah dekat dengan Baitul Maqdis Palestina, bagian dari wilayah kekaisaran Romawi. Lalu diutuslah seorang sahabat bernama al-Harits bin Umair al-Azdi untuk mengantarkan surat tersebut.
Pasca perjanjian Hudaibiyah, tahun 628 M, Rasulullah ﷺ memang kerap mengirim surat kepada para penguasa di sekitar Madinah, mengajak mereka meniti jalan keselamatan, yakni Islam. Raja Romawi, Heraklius, juga pernah dikirimi surat oleh Rasulullah ﷺ, mengajaknya memeluk Islam, namun ia menolak.
Setibanya di sebuah desa bernama Mu’tah, al-Harits bin Umair al-Azdi dihadang dan ditangkap oleh pasukan Bushra. Ia dibawa ke hadapan Raja Bushra, Syurahbil bin Amr al-Ghassani, yang juga pemimpin suku Ghassaniyah. Syurahbil memerintahkan agar al-Harits digantung hingga ia syahid.
Mendapati hal ini, Rasulullah ﷺ murka. Raja Bushra dinilai telah berbuat keterlaluan. Sebab, telah menjadi kesepakatan bahwa kurir manapun tak boleh dibunuh.
Rasulullah ﷺ kemudian mengirimkan 3 ribu prajurit ke Mu’tah di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah. Rasulullah ﷺ berpesan kepada pasukan yang hendak diberangkatkan itu, “Jika Zaid gugur, maka Ja’far yang menggantikan posisinya. Jika Ja’far gugur, maka komando tertinggi pasukan dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.” (At-Thabaqaat, 2/128)
Lalu, di Mu’tah, pasukan Muslim disambut oleh 200 ribu pasukan musuh, terdiri atas pasukan Romawi dibantu aliansi bangsa Arab pemeluk Nasrani. Jumlah kedua pasukan sangat tidak imbang. Zaid akhirnya gugur sebagai syahid. Sesuai pesan Rasulullah ﷺ, Ja’far lngsung mengambil alih panji Islam dari tangan Zaid. Ia melompat dari kudanya, menerobos barisan musuh dengan sabetan pedangnya, hingga syahid menyusul sahabatnya.
Sebelum syahid, Ja’far sempat bersenandung sebagaimana dikutip oleh al-Haitsami di dalam al-Majma’:
Duhai … alangkah indahnya surga dan menghampirinya.
Harum tanahnya, dingin dan segar minumannya.
Romawi … wahai Romawi, telah dekat azab mereka.
Karena kekafiran mereka yang tak terhingga.
Sungguh senang kuberperang dengan mereka.
Ibnu Hisyam menuturkan, “Pada saat pertempuran, Ja’far ibn Abi Thalib memegang panji dengan tangannya. Lalu musuh berhasil menebasnya, maka ia pindahkan panji itu ke tangan kirinya. Namun terpotong pula tangan kiri itu oleh pedang musuhnya. Ja’far tak putus asa. Ia gigit panji itu dengan giginya hingga ia gugur untuk selama-lamanya,” (al-Maghazi, 2/761).
Kemudian, Ibnu Rawahah mengambil alih komando. Ia maju ke tengah barisan musuh dengan kudanya seraya membawa panji Islam hingga syahid menyusul dua sahabatnya. Setelah tongkat komando diserahkan kepada Khalid Ibnu Walid, ia mulai menyusun strategi pertempuran pada keesokan harinya. Khalid memang dikenal ahli dalam strategi perang. Ia memecah pasukan Muslimin menjadi dua sayap, dan memerintahkan keduanya menyerang musuh secara berbarengan.
Serangan tiba-tiba dari dua arah ini membuat pasukan musuh salah sangka. Mereka mengira kaum Muslim mendapat tambahan pasukan. Mereka terkejut dan hilang kendali.
Pasukan Muslim tak menyia-nyiakan keadaan ini. Mereka bertempur habis-habisan dan berhasil memukul mundur pasukan musuh. Bukhari dalam al-Fath dan ath-Thabari dalam at-Tarikh mengambarkan bahwa sembilan pedang Khalid bi Walid patah dalam pertempuran tersebut. Ini menandakan betapa dahsyatnya pertempuran itu.
Demikianlah jika Allah Ta’ala telah berkehendak untuk memenangkan satu pasukan atas pasukan lainnya, tak ada yang bisa mencegahnya. Meskipun jumlah tentara Muslim saat itu sangat sedikit dibanding pasukan musuh, namun Allah Ta’ala menakdirkan mereka menang.
Inilah awal kisah pembebasan negeri Syam, tempat Baitul Maqdis Palestina berada, pada zaman Rasulullah ﷺ. Perang Mu’tah juga menjadi kontak fisik pertama pasukan Muslim dan pasukan Romawi yang kala itu masih menguasai negeri Syam.
Mereka dikenal sebagai pasukan terkuat di dunia. Mu’tah sendiri adalah sebuah desa di perbatasan Syam, atau sebelah timur Palestina dan sungai Yordania.
Setahun kemudian, tepatnya pada Oktober 630 M, setelah penaklukan Makkah (Fath Makkah), Rasulullah ﷺ kembali mengirimkan ekspedisi ke daerah perbatasan Palestina, yakni Tabuk. Beberapa sejarawan menyatakan ekspedisi ini adalah reaksi atas terbunuhnya tiga panglima kaum Muslim di Perang Mu’tah.
Namun, para sejarawan lainnya berpendapat, ekspedisi ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ telah menganggap penting untuk membebaskan tanah Syam, juga Baitul Maqdis di dalamnya, dari tangan Romawi.
Dalam ekspedisi ini, tak tanggung-tanggung, Rasulullah ﷺ menerjunkan 30 ribu pasukan dan dipimpin langsung oleh beliau. Walaupun ekspedisi Tabuk tidak sampai menyebabkan kontak fisik dengan pasukan Romawi, namun pasukan Rasulullah ﷺ banyak mendapat kemenangan.
Banyak kabilah-kabilah Arab di sekitar Palestina menyatakan bai’at kepada Rasulullah ﷺ, termasuk beberapa wilayah seperti Ailah, Jarba, dan Adzruh. Raja Ailah bahkan memberi hadiah seekor kuda putih kepada Rasulullah ﷺ yang dikalungi selendang oleh Rasulullah ﷺ.
Selanjutnya, selesai menunaikan Haji Wada’, Rasulullah ﷺ kembali meminta kaum Muslim bersiap-siap berperang melawan pasukan Romawi di perbatasan Syam. Yang menarik, Rasulullah ﷺ menunjuk Usamah bin Zaid yang ketika itu masih berusia 18 tahun untuk memimpin pasukan.
Namun, ketika pasukan Usamah tiba di Jurf, sekitar 3 mil dari Madinah (Fariq Gasim Anuz dalam Abu Bakar Ash-Shiddiq), mereka menerima kabar kesehatan Rasulullah ﷺ memburuk. Usamah menghentikan pasukannya dan mendirikan tenda di tempat itu. Usamah sempat kembali ke Madinah menjenguk Rasulullah ﷺ. Namun, saat Usamah kembali kepada pasukannya, datang kabar bahwa Rasulullah ﷺ wafat. Hari itu, Senin, 12 Rabiul Awal tahun ke 11 Hijriah atau 8 Juni 632 M, seluruh kaum Muslim berduka. Usamah tak jadi melanjutkan ekspedisi ke wilayah perbatasan Syam. (hidayatullah)
Komentar Terbaru