Manusia yang Merugi (Tadabbur Qur’an Surat Al ‘Ashr)
Tidak pernah ada manusia yang ingin rugi di dunia ini. Namun, sayang keinginan untuk tidak ingin menjadi manusia yang rugi itu tak diiringi dengan rasa keingintahuan apa yang menjadi penyebab orang itu mendapatkan kerugian sebenarnya.
Bagi kaum materialis, orang yang rugi hanya diukur ketika seseorang tidak mempunyai uang, harta kekayaan lainnya. Bagi kaum yang mengagungkan intelektual, orang yang rugi baginya adalah jika seseorang tidak mampu meraih pendidikan tertinggi dalam studinya. Bagi orang yang selalu menuhankan kekuasaan, orang yang rugi menurutnya adalah mereka yang tidak bisa menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi orang lain.
Mari kita lihat, apa standar sebenarnya yang menjadikan manusia merugi menurut Al Qur’an dalam surat Al ‘Ashr. Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Qs. Al ‘Ashr).
Hampir semua atau bahkan semua kaum muslimin hafal surat Al ‘Ashr di atas. Namun, tidak banyak yang memahami apa dan bagaimana maksud surat tersebut. Padahal, Imam Asy Syafi’i berkata tentang surat di atas,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
“Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah, surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal shalih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Imam Syafi’i tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal bila mendengar atau membaca surat ini, maka dia pasti akan berusaha membebaskan dirinya dari kerugian dan berusaha menghiasinya dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar.” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Pertama, Allah bersumpah dengan al ‘ashr, yang dimaksud adalah waktu atau umur. Karena umur inilah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Umur ini yang digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab umur, manusia menjadi mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.
Kedua, manusia benar-benar dalam kerugian. Kerugian di sini adalah lawan dari keberuntungan. Kerugian sendiri ada dua macam menurut Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
Pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Artinya orang tipe ini tidak pernah tersentuh hatinya untuk berbuat kebaikan dengan mengamalkan syariat Allah Ta’ala. Ia luput dari nikmat-nikmat kebaikan dari syariat mulia ini (al Islam) dan kelak akan mendapat siksa di neraka jahim.
Kedua, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah mengglobalkan kerugian pada setiap manusia kecuali yang punya empat sifat: pertama, iman. Kedua, beramal shaleh. Ketiga, saling menasehati dalam kebenaran. Keempat, saling menasehati dalam kesabaran.
Pertama, mereka yang memiliki Iman. Artinya, orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah yang memiliki iman. Mereka benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala. Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perintah beriman kepada Allah dan beriman kepada-Nya tidak diperoleh kecuali dengan ilmu. Artinya, mustahil iman seseorang itu menjadi sempurna jika tidak diperolehnya dengan belajar (ilmu).
Menurut Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Iman di dalamnya harus terdapat perkataan, amalan dan keyakinan. Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu berasal dari hati dan akal. Jadi orang yang berilmu jelas selamat dari kerugian.”
Kedua, mereka yang beramal sholeh. Ini artinya, mereka setelah iman akan melakukan seluruh kebaikan yang lahir maupun yang batin sebagai wujud dari keimanannya. Tentu amal sholeh dimaksud adalah yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun yang sunnah.
Amal sholeh lahir dari iman yang dilandai ilmu dengan lurus sehingga amal sholeh yang dilakukan itu semua mempunyai akar niat yang kuat, yakni ilmu. Amal sholeh yang dikerjakan tanpa ilmu, maka akan dihinggapi penyakit hati seperti riya, sum’ah dan penyakit kronis hati lainnya. Di sinilah terlihat betapa ilmu diperlukan bukan hanya untuk menumbuhkan iman, tapi juga ilmu diperlukan sebagai landasan amal sholeh.
Ketiga, mereka yang saling menasehati dalam kebenaran. Inilah indahnya perwujudan ukhuwah islamiyah di tengah kaum muslimin. Ukhuwah ini akan tumbuh merekah jika saja kaum muslimin itu hidup berjama’ah di bawah pimpinan seorang imam. Tidaklah menjadi sempurna perwujudan ukhuwah islamiyah itu manakala tidak berhimpun dalam sebuah jama’ah.
Dalam mengamalkan ukhuwah inilah diperlukan kebulatan tekad untuk saling memotivasi satu dengan yang lain agar selalu istikomah dalam mengamalkan kebenaran hingga akhir hayat. Mengamalkan kebenaran tanpa ada orang lain yang sering mengingatkan dan menguatkan, maka kebenaran itu terkadang melelahkan hati seorang muslim sebab setan tidak pernah berhenti mencari celah untuk menggoda dan melemahkannya.
Keempat, mereka yang saling menasehati dalam kesabaran. Saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat. Juga sabar dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa menyakitkan. Karena sabar itu ada tiga macam: (1) sabar dalam melakukan ketaatan, (2) sabar dalam menjauhi maksiat, (3) sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau menyakitkan.
Kesimpulan dari Qur’an surat Al ‘Ashr di atas menurut Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Dua hal yang pertama (iman dan amal sholeh) untuk menyempurnakan diri manusia. Sedangkan dua hal berikutnya untuk menyempurnakan orang lain. Seorang manusia akan menggapai kesempurnaan jika melakukan empat hal ini. Itulah manusia yang dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 934).
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa membimbing setiap langkah kita agar senantiasa selamat dari kerugian hakiki, wallahua’lam.
Komentar Terbaru